Sabtu, 05 Januari 2008
Memandang Primordialisme Secara Holistik
Indonesia merupakan satu entitas bangsa yang terdiri dari kesatuan budaya yang kompleks. Sejak berabad lamanya keragaman suku dan tradisi tumbuh subur dan menjadi kekayaan tersendiri bagi bangsa ini. Tak kurang dari 360 bahasa dan ratusan budaya memenuhi khazanah kebudayaan Indonesia. Hal ini merupakan satu bukti nyata bahwa bangsa ini mempunyai daya kreasi dan nilai-nilai kehidupan yang tinggi.

Di satu sisi, kita mengakuinya sebagai khazanah budaya yang bernilai tinggi. Akan tetapi di sisi lain, ketika dua karakter sosial dan budaya bertemu, primordialisme seakan menjadi satu sekat yang membuat mereka benar-benar menjadi dua entitas berbeda, menjadi air dan minyak. Rasa kesukuan menjadi tameng utama dalam menghadapi budaya dan bahasa suku lain. Seseorang yang berbahasa Jawa dalam lingkungan Sunda akan dianggap inferior dan lebih ekstrim lagi ditertawakan. Begutupun dengan suku lain yang juga mendiskreditkan budaya bangsa yang bukan berasal dari sukunya. Dalam kondisi seperti ini, potensi disintegrasi bangsa tampak begitu jelas.

Tapi jika kita melirik pada realitas, di mana dewasa ini budaya kosmopolitan, think globally, act locally, mendapatkan signifikansinya dalam kehidupan sosial bangsa kita sebagai satu prakondisi bagi kehidupan multikultur yang membuka jalan bagi budaya lain untuk masuk dan eksis dalam lingkungan lokal, maka nampaknya primordialisme sebagai satu ideologi defensif perlu kita kaji ulang. Ketika dunia sudah semakin bias akan batas teritorial dan globalisasi benar-benar mendekati masa gemilangnya, maka yang terjadi bukan hanya kompetisi ekonomi dan persaingan kerja, akan tetapi di sana terjadi pula persaingan yang begitu halus dan tidak terlihat, yaitu persaingan kultur. Karena bagaimanapun, orang luar yang masuk ke Nusantara ini tidak hanya membawa komoditinya saja, akan tetapi juga sesuatu yang tak kalah pentingnya, yaitu budaya. Makanan Barat yang kian menerobos pasaran kita secara tak langsung mengajari kita akan budaya tempat mereka berasal. Dari mulai cara makan, kecenderungan pada makanan asing, sampai pada tempat makan yang kesemuanya mengantar kita pada paradigma inferior dalam memandang makanan lokal. Begitupula dengan hal-hal lain yang dikemas dengan begitu cantik oleh kaum kapitalis dalam satu paket gaya hidup (lifestyle) yang dengan lembutnya mengaburkan pandangan kita terhadap budaya sendiri dan sedikit-sedikit kita mulai melupakannya.

baca sampe berez
posted by Iiq Pirzada @ 09.06  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
 
About me

Iiq Pirzada adalah seorang
santri Darul Arqam yang
beberapa kali dipanggil ke
kantor kepala sekolah karena
mengadakan kumpul KMR
putera-puteri. Ia juga pernah
dikeluarkan dari kelas saat
mendebat seorang guru.
Beberapa tulisannya pernah
menjuarai lomba, dan yang
paling diingatnya adalah saat
memenangkan juara 1 lomba
tulis artikel Ma'rakat Go Public
se-Garut 2005. Saat itu ia
masih kelas 2 SMP, dan harus
melawan saingannya yang
rata-rata sudah SMA.


Menu
Quote

Tulisan yang bagus itu
bukan tulisan yang kata-
katanya selangit, tapi tulisan
yang bagus itu adalah
tulisan yang selesai

Fahd Djibran
President Prophetic Freedom


Sekilas Info

DA lagi libur sampe tanggal
13 Januari, Insya Allah
smester 2 akan banyak acara IRM


Contact Us

iqbal_iiq26@yahoo.com

Tulisan Lain
Archives
Links
Cafe

Cafe
Pengunjung